Video Penangkapan 5 Oknum Lsm Diduga Penindakan Sepihak Dan Berencana Oknum Kepsek Menjebak -->

Postingan Populer

Cari Blog Ini

Translate

RESOLUSITV

RESOLUSITV
AKURAT DAN TERPECAYA

ENTRI YANG DI UNGGULKAN

Oknum Polres Bitung Diduga Terlibat sebagai Penadah Kapal Ikan Berdokumen Palsu

Jakarta | Resolusitv.com Seorang oknum polisi yang berdinas di Polres Bitung Sulawesi Utara, yang disebut-sebut bernama Roy Husain, diduga k...

Video Penangkapan 5 Oknum Lsm Diduga Penindakan Sepihak Dan Berencana Oknum Kepsek Menjebak

RESOLUSITV
Selasa, Desember 07, 2021

 Resolusitv.com Lampung Timur,.

Video Penangkapan 5 Oknum Lsm






Dengan Terjadinya 5 Oknum Lsm yang diamankan dimapolres Lampung Timur, beberapa para Aktivis memaparkan aturan yang seharusnya dilaksanakan Oknum Penegak hukum yang menangkap diduga bertindak hanya sepihak.

Beberapa Aktivis di Lampung timur, Memaparkan 

Penyuapan, Gratifikasi, Pemerasan?

Salah satu jenis korupsi adalah pemberian dari satu pihak ke pihak lainnya. pemberian ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) penyuapan, (2) gratifikasi, dan (3) pemerasan.

Penyuapan adalah bentuk pemberian yang dilakukan oleh korporasi atau pihak swasta berupa pemberian barang, uang, janji, dan bentuk lainnya yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan dari pihak penerima suap. Suap disertai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tindakan suap, baik yang dilakukan di dalam negri atau pun luar negeri, pada jam kerja atau pun di luar jam kerja, akan dipidana.

Di sisi lain, gratifikasi adalah segala bentuk pemberian, baik bernilai besar atau pun kecil. Gratifikasi dan uang suap umumnya sama-sama diinisiasi oleh pemberi. Akan tetapi, perbedaan mendasar antara kedua hal tersebut adalah tindakan gratifikasi tidak bersifat transaksional. Apabila tindakan suap dilakukan untuk memengaruhi keputusan penerima, gratifikasi dilakukan sebagai upaya “mencari perhatian” kepada pejabat dengan tujuan memengaruhi kebijakan dalam jangka panjang. Sebagian ahli bahkan berpendapat bahwa gratifikasi merupakan suap yang tertunda.

Sementara pemerasan adalah tindakan menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Namun demikian, unsur “memaksa” menjadi sangat penting untuk dibuktikan pada tindakan pidana ini karena sering dijadikan alasan bagi pihak pemberi sebagai dalih pemberian. Perbedaan mendasar antara penyuapan dan pemerasan adalah dari segi inisiator serta unsur pemaksaan antara pemberi dan penerima.

Peraturan terkait Penyuapan

Peraturan terkait korupsi sektor korporasi sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. Pada UU No.20 tahun 2001 pasal 20 ayat 2, dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Pidana yang diberikan tidak hanya bagi penerima, tapi juga pemberi suap. Pidana untuk pemberi suap diatur dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No.20 tahun 2001. Pada pasal ini dijelaskan bahwa: pelaku suap dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang:

  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
  3. Pidana terhadap penerima suap dijelaskan pada pasal 5 ayat 2 UU No.20 tahun 2001. Pada pasal ini dinyatakan bahwa; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1.                              Dalam rangka menindaklanjuti regulasi ini, diberlakukan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016. Pada aksi 20 dinyatakan bahwa salah satu upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan melakukan inisiasi upaya sertifikasi antikorupsi.            Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Penyuapan.                Salah satu sistes yang dapat diterapkan dan disertifikasi dalam rangka mencegah tindakan penyuapan adalah membantu organisasi mencegah, melaporkan, maupun menyelesaikan kasus penyuapan. Sistem ini dirancang untuk menumbuhkan budaya antisuap pada suatu organisasi dan meningkatkan peluang untuk mendeteksi upaya-upaya insiden penyuapan dari awal. Sistem manajemen ini bersifat fleksibel sehingga dapat diterapkan pada berbagai jenis organisasi, perusahaan, lembaga, ataupun institusi. 

sebagai berikut.

  1. Membentuk dan membina komitmen manajemen
  2. Menunjuk pengawas anti-penyuapan
  3. Menilai risiko suap untuk seluruh aktivitas
  4. Menetapkan dan mewujudkan kebijakan, prosedur, ataupun kontrol lainnya berdasarkan risiko suap yang mungkin terjadi
  5. Melakukan peningkatan kesadaran bagi semua pihak terkait
  6. Melaporkan, memantau, dan menginvestigasi implementasi sistem manajemen antisuap serta menginvestigasi kasus suap yang terjadi
  7. Melakukan tindakan korektif dan peningkatan berkelanjutan

Penerapan tersebut akan membantu organisasi dalam meningkatkan pengendalian terhadap salah satu tindakan korupsi. Implementasi sistem ini juga memberikan kepercayaan terhadap seluruh pihak berkepentingan organisasi, baik manajemen, pemilik, pelanggan, dan rekan bisnis, bahwa organisasi telah melaksanakan praktik pengendalian antisuap yang baik dan telah diakui secara internasional. Apabila suatu saat terjadi penyelidikan kasus penyuapan dalam organisasi, penerapan sistem ini juga akan memberikan bukti kepada jaksa maupun pengadilan bahwa organisasi telah mengambil langkah-langkah dalam upaya pencegahan penyuapan.

Pidana Korupsi, dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam hal ini 

dapat dikemukakan bahwa suap merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana 
korupsi. Berikut ini tabel tentang pola korupsi di dunia pendidikan: 

Apakah Para Oknum Kepala Sekolah tersebut tidak pernah melakukan seperti gambar dibawah ini




Beberapa Aktivis mengemukakan empat penyebab utama terjadinya korupsi 
(termasuk di dalamnya Suap) di lingkungan pendidikan, yang meliputi:

1. Peran dan kewenangan Kepala Sekolah yang terlalu dominan, 
dalam arti bahwa semua kebijakan akademis maupun finansial, direncanakan 
dan dikelola oleh Kepala Sekolah. 
2. Minimnya partisipasi masyarakat, yaitu bahwa masyarakat 
(orang tua siswa) tidak diajak membicarakan pengelolaan sekolah, melainkan 
mereka hanya dikumpulkan setiap tahun ajaran baru untuk menawar 
besarnya dana yang dibebankan pada mereka. 
3. Minimnya transparansi, yaitu kurangnya keterbukaan dalam 
pengelolaan keuangan sekolah. 
4. Tidak adanya akuntabilitas, yaitu tidak adanya 
pertanggungjawaban mengenai penggunaan dana dari masyarakat, terutama 
orang tua siswa.

Pada level pengelolaan perguruan tinggi, dominasi kebijakan akademis maupun 
finansial, tidak se dominan pada kepala sekolah, karena pada umumnya aspek 
management suatu perguruan tinggi, sudah lebih maju dibandingkan dengan 
aspek management sekolah. Sudah lazim bahwa di perguruan tinggi terdapat 
beberapa wakil atau pembantu rektor/direktur, disertai dengan pembagian 
kewenangan yang jelas serta kontrol yang efektif, yang dapat meminimalisir 
terjadinya penyimpangan pengelolaan akademis maupun finansial. 
Perihal minimnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perguruan tinggi, 
disebabkan karena belum adanya aturan yang baku serta rinci yang menjadi 
rujukan bagi pelaksanaan menampung partisipasi masyarakat tersebut. Dalam 
konteks ini, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 
sampai saat ini juga belum/tidak berhasil memberikan panduan seperti yang 6
diharapkan. Dalam pasal 4 ayat (6) UU Sisdiknas ditentukan bahwa pendidikan 
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui 
peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. 
Idealnya, dalam pasal 4 UU Sisdiknas tersebut juga dicantumkan ketentuan 
tentang perlunya disusun peraturan pemerintah dan atau peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatnya lebih rendah, untuk menjabarkan lebih lanjut 
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat tersebut. 
Kewajiban tentang perlunya disusun peraturan khusus mengenai partisipasi 
masyarakat tersebut, ditegaskan kemudian dalam bab XV tentang partisipasi 
masyarakat, tetapi sayangnya, peraturan tersebut hingga kini belum terbentuk. 
Apabila dapat disepakati bahwa minimnya partisipasi masyarakat dalam 
pengelolaan sekolah/pendidikan merupakan penyebab terjadinya suap dan atau 
korupsi di sekolah/pendidikan, maka pengaturan yang memadai tentang 
tatacara dan ruang lingkup partisipasi masyarakat, yang seharusnya 
diamanatkan oleh Pasal 4 dan bab XV UU Sisdiknas, dapat merupakan solusi 
untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana suap/korupsi di sekolah/pendidikan. 
Kelemahan mendasar seperti terlihat dalam pasal 4 UU Sisdiknas 
sebagaimana tersebut di atas, ternyata diulangi lagi dalam pasal 8 UU 
Sisdiknas. Pasal 8 UU Sisdiknas yang secara khusus mengatur tentang hak dan 
kewajiban masyarakat, ternyata tidak memberikan panduan yang memadai 
tentang bagaimana partisipasi masyarakat harus dijalankan. Dalam pasal ini, 
hanya terdapat dua norma hukum yang sangat tidak memadai dalam 
memberikan panduan mengenai partisipasi masyarakat tersebut. Analog dengan 
pandangan sebagaimana penulis kemukakan dalam alinea di atas, seharusnya 
pasal 8 UU Sisdiknas diikuti dengan peraturan perundang-undangan yang lebih 
rendah tingkatannya, yang mampu memberikan panduan rinci tentang partisipasi 
masyarakat di bidang pendidikan. 
Perihal transparansi pengelolaan keuangan sekolah, UU Sisdiknas telah 
memberikan panduan umum, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 48 yang 
menentukan bahwa pengelolaan dana pendidikan didasarkan pada prinsip 
keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Pasal ini juga 
menentukan bahwa perlu segera dibuat peraturan pemerintah sebagai 
pelaksanaan norma umum tentang prinsip-prinsip pengelolaan dana pendidikan 
tersebut, yang diharapkan mampu memberikan panduan yang lengkap tentang 
pengelolaan dana pendidikan. Apabila peraturan pemerintah tersebut telah ada, 
dan kemudian dijalankan secara benar, diharapkan bahwa pengelolaan dana 
pendidikan dapat berjalan secara adil, efisien, transparan, dan akuntabel, 
sehingga meminimalisir terjadinya suap dan atau korupsi di sekolah/pendidikan. 

Langkah-langkah Penanganan 
1. Langkah Preventif
(a) Pemberhentian Sementara. 
Tindak pidana suap di dunia pendidikan, dapat melibatkan berbagai pihak, 
antara lain pengelola sekolah/perguruan tinggi dan aparat/birokrat pemerintah 
yang mengelola pendidikan. Ade Irawan mengemukakan bahwa korupsi di dunia 
pendidikan meliputi empat level, yaitu level pertama, dengan pelaku guru; level 
ke dua, dengan pelaku kepala sekolah dengan dibantu komite sekolah dan dinas 
pendidikan; level ke tiga, dengan pelaku dinas pendidikan; dan level ke empat, 
dengan pelaku depdiknas. Yang dimaksud dengan korupsi/suap yang melibatkan 
aparat/birokrat pemerintah adalah korupsi pada level ke dua, ke tiga, dan ke 
empat. 
Dalam kaitannya dengan suap/korupsi yang melibatkan birokrat 
pemerintah, instrumen pemberhentian sementara dari jabatan, dapat dipandang 
sebagai langkah preventif maupun langkah kuratif. Akan merupakan langkah 
preventif apabila dikedepankan efek jera yang ditimbulkan dari instrument 
tersebut bagi aparat pemerintah lainnya, sehingga aparat lainnya mempunyai 

rasa takut untuk melakukan tindak pidana korupsi/suap. Apabila tidak 
dikedepankan efek jera yang ditimbulkannya, maka instrumen pemberhentian 
sementara tersebut merupakan langkah kuratif. 
Instrumen pemberhentian sementara ini, merupakan inovasi dari 
berbagai macam sanksi yang dikenal dalam PP (Peraturan Pemerintah No. 30 
Tahun 1980, tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di dalam PP No. 
30/1980, dikenal berbagai macam pemberhentian pegawai negeri sipil, antara 
lain pemberhentian atas permintaan sendiri, pemberhentian karena 
penyederhanaan organisasi, pemberhentian karena melakukan 
pelanggaran/tindak pidana, dan lain-lainnya. 
Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR (TAP-MPR) No. 
XI/MPR/1998 dan UU No. 28/1999 (keduanya merupakan aturan tentang 
penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN), pemberhentian 
sementara dari jabatan publik bagi si-penyelenggara negara, apabila yang 
bersangkutan terindikasi menerima suap dan atau melakukan KKN dan atau 
perbuatan pidana/tercela lainnya, sudah pantas dan selayaknya untuk dicoba 
diterapkan dan atau diwacanakan. Dalam konteks ini, sangat diyakini bahwa 
instrument pemberhentian sementara, dapat mempermudah proses hukum atas 
dugaan penyelewengan yang dilakukannya (karena yang bersangkutan tidak lagi 
full power dalam membangun sebuah rekayasa dan atau 
menghilangkan/merusak alat bukti dan barang bukti), dan dapat mempercepat 
perwujudan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN serta 
perbuatan pidana/tercela lainnya. 
Sifat sementara dari pemberhentian tersebut adalah sampai dengan ada 
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas perkara 
tersebut. Sedangkan timing dari penerapan pemberhentian sementara tersebut 
adalah sejak yang bersangkutan dinyatakan sebagai tersangka oleh penyidik. 
Sifat sementara yang diberi makna demikian, dan timing yang tepat 
dalam menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara tersebut, memberi 
justifikasi yang memadai bahwa pemberhentian sementara tersebut, tidak 
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Asas ini juga tidak dilanggar, 

karena, apabila keputusan hakim yang sudah in kracht tersebut membebaskan 
tersangka/terdakwa, maka terdakwa secepatnya dikembalikan pada posisinya 
semula dan direhabilitasi nama baiknya. 
Perlunya dicoba penerapan instrument pemberhentian sementara, 
disebabkan karena hingga kini instrument tersebut belum banyak yang 
mempergunakannya, padahal efektifitasnya cukup menjanjikan. Di sisi lain, 
instrument tersebut juga perlu terus diwacanakan/disosialisasikan, agar menjadi 
inherent dalam praktek penyelenggaraan negara, dan agar diakomodir dalam hukum positif.
Apabila Ada Oknum Kepala Sekolah yang tidak melaksanakan aturan yang diatas, kami Para Aktivis Lam-tim, minta Aparat Penegak Hukum Cepat tanggap dan secara tegas menindak Lanjuti apabila ada pemberitaan dan laporan mengenai dugaan yang dilakukan para Oknum Kep-sek Tersebut. (Para Aktivis Lampung Timur).