kritik adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Keduanya saling berkelit dan. Demokrasi tanpa kritik hambar. Sementara kritik tanpa ruang kebebasan yang disediakan demokrasi tak akan berkembang. Baik sebagai argumen logis ataupun sebagai wacana dialektis yang mengiringi kehidupan politik kebangsaan.
Karena itu, tak salah jika kita menganggap bahwa demokrasi yang ”berhasil” adalah demokrasi yang menghargai ”kritik” setiap subjek demokrasi. Lalu memaknainya sebagai sebuah kepedulian bersama untuk membangun dunia politik dan kebijakan publik yang efisien, terukur, dan terjangkau untuk semua subjek.
Karena itu, dalam rangka mencapai kehidupan berbangsa yang demokratis, kritik harus selalu dirawat dan dihargai. Tidak boleh dibungkam dan dikucilkan, tak terkecuali subjek-subjek yang aktif melontarkan kritik. Di sejumlah negara maju, yang indeks demokrasinya sudah mapan, kritik disambut dengan tangan terbuka, diterima sebagai sebuah ”gagasan segar” dan masukan untuk memperbaiki kehidupan politik. Kritik dipahami secara esensial, yakni untuk mendandani dan merias kehidupan politik agar cantik dan berwarna. Setali dua uang dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan masyarakat.
Namun, dalam kehidupan demokrasi kita, penghargaan terhadap kritik itu masih menjadi pertanyaan besar. Dengan kata lain, sebagai negara yang bercita-cita untuk membangun kehidupan politik yang lebih demokratis, kita belum benar-benar bisa menghargai kritik. Kritik sering kali dijustifikasi sebagai ekspresi kebencian, tidak dipandang sebagai bentuk kepedulian setiap subjek atas objek, yakni kehidupan demokrasi. Padahal, sebagaimana ditegaskan di muka, keberhasilan demokrasi suatu bangsa ialah berbanding lurus dengan penghargaan setiap subjek Kabupaten dan kekuasaan atas kritik yang ada.
Sikap tidak menghargainya subjek kekuasaan dan sebagian subjek Kabupaten terhadap kritik itu sangat tampak dalam beberapa tahun terakhir. Yang ditandai dengan adanya fenomena pembungkaman, intimidasi, dan peretasan media.
media yang terbilang ekstrem dalam mengawasi dan mengontrol kekuasaan, yakni diretas. Bahkan, peretasan itu kabarnya terjadi sering kali. Pada saat bersamaan, sebuah media yang tak kalah kritis, yakni juga mengalami peretasan.
Selain itu, sejumlah hujatan datang dari beberapa pihak, netizen, dan sebagian malah dari subjek lainnya dan termasuk juga para buzzer di dalamnya. Fenomena tersebut, dalam hemat penulis, makin mempertegas kondisi politik kita yang tidak bisa menghargai ”kritik”. Sekali lagi, pada titik ini kritik selalu saja dianggap sebagai ekspresi kebencian yang berusaha menjatuhkan marwah kekuasaan Pemkab.
Akibatnya, sebagai sesuatu yang berkelit dan dengan kritik, kedudukan para pengkritik (anggaplah kritikus) selalu disamakan dengan para musuh Pemkab. Bukan dimaknai sebagai sebuah keaktifan para subjek dalam mengawasi dan mengontrol kehidupan politik. Adanya persepsi yang menyamaratakan para pengkritik dengan musuh Pejabat ini sungguh fatal dan bahaya. Sebab, dengan demikian, pada akhirnya subjek-subjek yang terbilang aktif melayangkan kritik akan dipersekusi oleh subjek lain yang merupakan bagian dari pendukung fanatik pemerintah dan kekuasaan. Di samping juga kekuasaan turut serta memersekusi melalui pemidanaan dan lainnya.
Sementara itu, hasil survei Ketua Apkan di Pemkab menemukan juga fakta tentang adanya ketakutan masyarakat untuk mengkritik. merasa takut mengkritik pemerintah. Lalu, responden lainnya merasa takut melayangkan kritik melalui kanal-kanal internet maupun media sosial. Demikian juga terkait dengan mimbar dan kebebasan akademik, yang Ketua Apkan juga mulai terkikis. Temuan Ketua Apkan adalah fakta yang makin memperkuat fenomena sikap politik kita yang tidak bisa menghargai kritik.
Pembangunan demokrasi tidak akan pernah tegak lurus dan tidak akan mencapai puncaknya jika semua kita (subjek sesama subjek dan lebih-lebih kekuasaan politik) belum bisa menghargai dan menghayati arti penting dari kritik itu. Kritik adalah jantung demokrasi, yang setiap detaknya menandai hidupnya demokrasi. Di sisi yang berbeda, kritik juga adalah nutrisi yang akan memberikan energi terhadap organ-organ demokrasi –dan juga yang akan memperbaiki sel-sel demokrasi kita yang rusak.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kita telah memberikan penghargaan luar biasa terhadap kritik. Dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Karena itu, sekarang adalah giliran kita untuk menghargai kritik tersebut. Mari hargai setiap kritik sebagaimana kita menghargai gagasan dan pikiran-pikiran kita sendiri.(jelas Ketua Apkan)