Beberapa warga Desa Sukoharjo, Kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Timur, Kecewa atas kelakuan Oknum Kades Sukoharjo inisial TM yang dikenal dengan sapaan BUGEL.
Namun, satu hal yang perlu Anda tahu. tanah properti yang satu ini sebenarnya milik bersama dan semua bisa memakai tergantung kebutuhan. Kamis,(18/2/2021).
Status tanah bengkok telah diatur sedemikian rupa oleh peraturan pemerintah maupun setempat. Sebagai warga negara yang taat peraturan, sudah sepatutnya tanah bengkok digunakan bersama.
Atau jika Anda merupakan seorang pejabat desa, maka pergunakanlah secara adil. Agar manfaat yang didapat bisa dipakai bersama-sama. Bagi beberapa orang, mendengar kata “tanah bengkok” mungkin tampak asing. Maka dari itu, yuk kita pahami bersama-sama.
Berdasarkan rujukan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tanah bengkok adalah:
#1 Tanah yang diterima (untuk diusahakan) sebagai pengganti gaji (bagi pamong desa dan sebagainya).
#2 tanah yang diterima (untuk diusahakan) dalam kaitan dengan jabatan yang dipegang; tanah jabatan.
Sementara itu, Pasal 1 angka 10 Permendagri 4/2007 menuliskan bahwa:
“Tanah Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara.” Jadi, ia merupakan salah satu tanah desa yang merupakan barang milik desa.
Hasil pengelolaan tanah bengkok dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa selain penghasilan tetap dan tunjangan Kepala Desa. Ketentuan lebih lanjut mengenai hasil pengelolaan atau sebutan lain, ditata oleh peraturan dari bupati atau wali kota masing-masing daerah.
Lalu, bisakah tanah bengkok digunakan untuk kepentingan pribadi sang pejabat desa? Jawabannya: Tidak.
Hak kelola tanah bengkok memang melekat pada seorang pejabat desa selama ia menjabat jabatan tersebut. Namun, ia tidak dapat diperjualbelikan tanpa persetujuan seluruh warga desa, namun boleh disewakan oleh mereka yang diberi hak mengelolanya.
Meski begitu, tanah tersebut tidak diperkenankan untuk disewakan kepada pihak ketiga. Semisal pihak di luar desa.
Tanah bengkok dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
#1 Tanah lungguh, menjadi hak pamong desa untuk menggarapnya sebagai kompensasi gaji yang tidak mereka terima;
#2 Tanah kas desa, dikelola oleh pamong desa aktif untuk mendanai pembangunan infrastruktur atau keperluan desa;
#3 Tanah pengarem-arem, menjadi hak pamong desa yang pensiun untuk digarap sebagai jaminan hari tua. Apabila ia meninggal, tanah ini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak desa.
Tidak semua desa memiliki ketiga kelompok lahan tersebut. Tanah bengkok merupakan salah satu bentuk hak komunal masyarakat adat desa, yaitu masyarakat hukum adat yang terbentuk secara teritorial
Idealnya, pejabat desa menggunakan tanah tersebut sebagai kepentingan warga. Misalnya untuk usaha, lahan pertanian, peternakan, tempat tinggal, hingga pemakaman.
Hasil yang didapat dari pemanfaatan tanah tersebut—berbentuk uang—bakal menjadi tambahan tunjangan bagi pejabat terkait. Selama digunakan untuk kepentingan bersama, lho.
Jika lahan dipakai untuk hal yang tidak-tidak, maka siap-siap dengan hukumannya. Larangan memperjualbelikan tanah ini, telah ditegaskan dalam Pasal 15 Permendagri 4/2007 yang berbunyi:
(1) Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum.
(2) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai harga yang menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
(3) Penggantian ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli tanah lain yang lebih baik dan berlokasi di Desa setempat.
(4) Pelepasan hak kepemilikan timah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
(5) Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah mendapat persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan Gubernur.
Tambah Korwil KOAK (Komite Anti Korupsi) kan pernah di sampaikan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyampaikan, hingga Kamis (28/5) kemarin, sebanyak 50.939 desa telah merealisasikan penyaluran Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD). Nominalnya mencapai lebih dari Rp 3,24 triliun.
Abdul Halim menuturkan, sedianya ada 65.836 desa yang berencana menyalurkan BLT DD. Mereka telah menggelar Musdes Khusus dan menetapkan sasaran Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Dengan kata lain, ada sebanyak 14.897 desa yang berencana menyalurkan BLT DD, namun belum merealisasikannya. Abdul Halim pun meminta penyaluran tahap I dipercepat, karena batas waktunya semakin sempit.
“Bagi desa yang tidak menyelesaikan ini, tentu ada konsekuensi terkait penyaluran Dana Desa pada masa berikutnya,” terangnya dalam webinar, Jumat (29/5).
Lebih lanjut dia menegaskan, Kepala Daerah yang tidak merealisasikan rencana penyaluran BLT DD-nya akan dikenakan sanksi. Abdul Halim menuturkan, sanksinya termasuk penundaan bahkan pengurangan Dana Desa yang akan datang.
Karena kami mensinyalir (dia) tidak Prorakyat. Ketika pemerintah sudah tidak Prorakyat harus kita evaluasi juga Dana Desa yang disalurkan,” ucapnya.
Abdul Halim menekankan, sanksi ini diberikan kepada daerah yang memang telah menganggarkan BLT DD, namun tidak merealisasikannya. “Tetapi bagi daerah yang memang tidak ada warga yang layak mendapatkan BLT DD, kalau seperti itu bukan diberi sanksi, justru apresiasi. Karena berarti desanya sangat bagus,” pungkasnya.
Jadi kalau memang di Desa Sukoharjo 28 warga penerima BLT DD bener menolak dan ada surat penolakan warga itu tidak ada pidana, dan Akan tetapi Apabila tidak ada surat penolakan Penerima BLT DD, ya itu jelas ada pidananya," tegas Sopyan Subing Korwil KOAK, Lampung Timur.(Joni,tim)